ADAB / ETIKA MENUNTUT ILMU
(Dalam
beribadah seolah-olah engkau melihat Allah, dan jika tidak melihat Allah,
seolah-olah engkau dilihat Allah)
MOTTO :TIDAK ADA YANG BISA DILAKUKAN TANPA ILMU AL-HADIST
“Barang
siapa yang menginginkan kebahagiaan di dunia haruslah dengan ilmu.
Barang
siapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat juga harus dengan ilmu,
dan
barang siapa yang menginginkan kebahagiaan dunia akhirat juga harus dengan ilmu
Mengapa
Harus dengan Ilmu ?
Suatu
Perbuatan untuk bisa menjadi amal shalih / amal ibadah (mahdhah maupun ghairu
mahdhah) manakala :
-
Dilakukan
dengan cara yang baik & benar
-
Dilakukan
dengan niat yang baik
Cara yang
baik dan benar :sesuai dengan ilmunya
KEDUDUKAN
ORANG YANG BERILMU
Hai
orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”
(Q.S.
Al-Mujadalah :11)
Apakah
kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
(Q.S.
Az-Zumar (39) : 9)
Dalam
sebuah Hadist Riwayat Bukhari & Muslim :
الدين في يفقهه خيرا به الله يرد من
“Barang
siapa yang dikehendaki Allah untuk menjadi orang baik-baik, maka ia difaqihkan
dalam agama”
Arti
difaqihkan adalah dipintarkan dengan ilmu
Adab / Etika dalam Menuntut Ilmu
Dalil
"Barangsiapa yang menuntut ilmu yang
dipelajari hanya karena Allah, sedang ia tidak menuntutnya kecuali untuk
mendapatkan mata-benda dunia, ia tidak akan mendapatkan bau sorga pada hari
kiamat".
( HR: Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
APA ITU NIAT
?
QOSHDU SYAI MUQTARINAN BIFI’LIHI
(melalukan
suatu perbuatan dengan kesadaran penuh sepanjang perbuatan itu berlangsung)
Artinya : Niat bukan hanya di awal perbuatan Niat juga bukan hanya sekedar bacaan (membaca niat) Niat merupakan penggabungan seluruh potensi hati, pikiran dan perbuatan
Dengan
Istilah lain :
Niat adalah
penggabungan seluruh potensi manusia, yang meliputi :
Potensi IQ
PotensiEQ
Potensi SQ
Karena
dengan kesadaran penuh menggabungkan seluruh potensi
maka niat
akan menghasilkan hubungan (rasa sambung
/ tuning) yang terus menerus dengan Allah dalam melakukan setiap
perbuatan
NIAT YANG
BAIK = IKHSAN
(Dalam
beribadah seolah-olah engkau melihat Allah, dan jika tidak melihat Allah,
seolah-olah engkau dilihat Allah)
IKHSAN à IHKLAS
(Niat untuk
mencapai ridlo Allah SWT)
Maka
kecelakaanlah bagi orang yang sholat. (yaitu) orang yang lalai dari sholatnya,
orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong) barang berguna.” (QS. Al-Maa’uun : 4-7)
IKHSAN &
IKHLAS adalah ULTIMATE GOAL
Seseorang
yang tidak bisa mencapai IKHSAN & IKHLAS dalam BELAJAR akan menimbulkan
perasaan :
·
GELISAH
·
TAKUT
·
KECEMASAN
·
KECEWA
·
SPIRITUAL
PHATOLOGYS
·
INILAH
MAKSUD DARI HADIS RASULULLAH :
· INILAH MAKSUD DARI HADIS RASULULLAH :
“Sesungguhnya
segala perbuatan itu tergantung niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya.”
(HR. Bukhari
Muslim)
”Maka barang
siapa hijrahnya didasari (niat) karena Allah dan Rasulullah, maka hijrahnya
akan sampai diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan barang siapa hijrahnya
didasari (niat) karena kekayaan dunia yang akan didapat atau karena perempuan
yang akan dikawini , maka hijrahnya (tertolak) pada apa yang ia hijrah
kepadanya.” (HR.
Muttafaqun Alaih)
2. Untuk
menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.
DALIL
"Sampaikanlah dariku walupun cuma satu
ayat”
(HR: Bukhari)
Imam Ahmad
berkata: Ilmu itu tidak ada bandingannya apabila niatnya benar. Para muridnya
bertanya: Bagaimanakah yang demikian itu? Beliau menjawab: ia berniat
menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.
3. Berniat
dalam menuntut ilmu untuk membela kebenaran
4. Lapang
dada dalam menerima perbedaan pendapat
5.
Mengamalkan ilmu yang telah didapatkan
6.
Menghormati para guru/ulama dan memuliakan mereka
7. Mencari
kebenaran dan sabar
Bagaimana
cara memilih ilmu, guru dan teman dalam belajar ??
Memilih Ilmu :
Hendaknya
memilih ilmu yang lebih baik dan ilmu yang sedang dibutuhkan dalam urusan agama
dan dibutuhkan di masa-masa akan datang.
Memilih Guru :
Sebaiknya
memilih orang yang lebih alim (pandai),wara (menjaga harga diri) dan lebih tua.
Memilih Teman :
Pilihlah teman
yang rajin, wira’i (memelihara diri dari yang haram), bertabiat benar, dan
saling pengertian, jauhilah teman yang malas, banyak bicara sia-sia, perusak
dan tukang fitnah.
Menghormati
Ilmu dan Menghormati Guru adalah salah satu kunci keberkahan
ADAB DALAM MAJLIS
Hai
orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”
(Q.S.
Al-Mujadalah :11)
Dalil Keutamaan Penuntut Ilmu (1)
“Barang siapa
menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu, niscaya Allah
Akan
memudahkan baginya jalan menuju surga”.
(HR: Muslim)
DALIL
KEUTAMAAN PENUNTUT ILMU
“Barangsiapa yang Allah kehendaki
baginya kebaikan, maka Allah jadikan ia faham dalam masalah agama.”
(Hadits
shahih)
KESIMPULAN:
ilmu itu harus dicapai sampai batas usaha yang
maksimal. Syarat dakwah:
1.
Aqidah yang benar, seorang yang
berdakwah harus meyakini kebenaran ‘aqidah Salaf tentang Tauhid Rububiyyah,
Uluhiyyah, Asma’ dan Shifat, serta semua yang berkaitan dengan masalah ‘aqidah
dan iman.
2.
Manhajnya benar, memahami Al-quran dan
As-sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih.
3.
Beramal dengan benar, semata-mata ikhlas
karena Allah dan ittiba’ (mengikuti) contoh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidak mengadakan bid’ah, baik dalam i’tiqad (keyakinan),
perbuatan, atau perkataan.